Kekerasan Antar Generasi

Share on facebook
Facebook
Share on google
Google+
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn

Oleh: Alvieni Angelica

Tahukah kamu bahwa kekerasan yang terjadi dalam keluarga tanpa disadari bisa diwariskan dari generasi ke generasi. Nggak percaya? Cobalah tengok cerita dari orangtua-kakek nenek-buyut kita. Mereka yang pernah mengalami kekerasan biasnya mewarisi perilaku kekerasan tersebut dari orangtua maupun pengasuh utama mereka. Mengapa demikian?

Joel S. Milner; Distinguished Research Professor dari Northern Illinois University pernah menyebutkan mengenai automatic behavior yang diwariskan oleh anak yang mengalami kekerasan orangtua. Saat mereka dewasa dan memiliki anak, maka ada kecenderungan melakukan tingkah laku kekerasan serupa dengan yang pernah dilakukan oleh orangtua mereka terhadap diri mereka. Bila dilihat dari teori otak emosi, hal tersebut sangat bisa dipahami. Semua hal yang pernah kita alami dan kita hayati sebagai persitiwa-peristiwa yang mengancam kesejahteraan diri akan tersimpan dalam otak emosi. Nanti; entah di tahun kapan; ketika ada stimulus serupa masuk melalui panca indera kita, maka memori masa lalu akan kembali ter-trigger, membuat saraf kita secara otomatis berpindah ke sistem simpatetik yang membuat diri kita siaga dalam survival mode, sehingga orang luar melihat tampilan diri kita seakan siap untuk melawan (fight); melarikan diri (flight) atau membeku (freeze). Dalam kondisi ini, otak logika tidak lagi bisa berfungsi secara prima karena kondisinya terbajak oleh otak emosi atau yang dikenal dengan istilah amygdala hijjack.

Selain itu, dewasa yang pernah mengalami kekerasan masa kanak-kanak, cenderung memiliki sistem saraf yang lebih sensitif terhadap situasi yang memicu ketegangan, sehingga kejadian kecil sekalipun bisa menyalakan kembali reaksi emosi mereka dan menggiring tubuh untuk melakukan perilaku yang dulu pernah diterimanya atau bereaksi sama seperti saat ia menerima perilaku yang dulu. Lalu, bagaimana mengatasinya?

Dalam hal ini, peran serta profesional seperti psikolog sangatlah diperlukan. Kamu akan diajak untuk menelaah kembali perjalanan hidupmu untuk menelaah pola aksi dan reaksi yang biasa terjadi. Mengangkat pola ini ke ranah sadar adalah sebuah langkah awal yang perlu dilakukan. Sesuatu yang tidak disadari akan sulit untuk diubah. Selanjutnya konseling dan psikoterapi menjadi bagian tidak terpisahkan untuk mengobati luka-luka yang ada dan mencoba melatih diri melihar dari perspektif lain di luar perspektif korban ataupun perspektif negatif tentang kehidupan. Rutinitas perawatan diripun tidak lepas dari bagian yang mutlak harus dijalankan dalam keseharian. Tanpa semua hal itu, sulit bagi kita untuk mengubah apa yang sudah berjalan dari generasi ke generasi. Oh ya satu lagi, menurut teori trauma antar generasi, hanya dibutuhkan 1 orang buat memutus rantai kekerasan yang ada. Nah, kamukah orangnya?

Selamat berproses!

Baca Artikel Lain

Sulitnya berkata “Tidak!”

Oleh: Alvieni Angelica Pernahkah kamu merasa tidak enak hati ketika harus menolak permintaan dari orang lain terlebih lagi mereka yang sangat dekat

Otak Remaja

Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Masa remaja kurang lebih dimulai dari usia 11 – 20 tahun

Baby Blues & Postpartum Depression

Proses kehamilan, melahirkan dan memiliki anak merupakan salah satu peristiwa yang signifikan bagi seorang perempuan. Dalam proses itu tidak hanya status yang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *